Profil Enny Nurbaningsih, Satu-satunya Srikandi Hakim MK yang Bacakan Putusan Gugatan Capres-Cawapres

Profil Enny Nurbaningsih, Satu-satunya Srikandi Hakim MK yang Bacakan Putusan Gugatan Capres-Cawapres

Liputan6.com, Jakarta – Mahkamah Konstitusi atau MK telah selesai membacakan putusan terkait batas usia capres-cawapres minimal 35 tahun dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) pada hari ini, Senin (16/10/2023).

Terdapat sembilan hakim MK turut mengambil keputusan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim yaitu Anwar Usman selaku ketua merangkap anggota, Saldi Isra, Arief Hidayat, Manahan Sitompul, Daniel Yusmic, Enny Urbaningsih, Guntur Hamzah, Suhartoyo, dan Wahiddudin Adams.

Enny Nurbaningsih menjadi satu-satunya hakim konstitusi perempuan yang turut mengambil keputusan. Siapakah dia? Diketahui, Enny Urbaningsih menjadi srikandi hakim MK yang dipilih oleh Presiden Joko Widodo atau Jokowi.

Ia terpilih menggantikan Maria Farida Indrati sebagai hakim konstitusi perempuan di Indonesia. Wanita kelahiran Pangkal Pinang, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung pada 27 Juni 1962 tersebut terpilih oleh panitia seleksi calon hakim konstitusi setelah melalui seleksi yang ketat hingga akhirnya dipilih oleh Presiden Jokowi.

Masa jabatannya terhitung mulai 13 Agustus 2018 sampai dengan 27 Juni 2032. Enny sesungguhnya memiliki cita-cita sebagai guru. Baginya, mengajar bukan hanya sebagai sebuah profesi, namun juga sebuah panggilan jiwa.

Menurut Enny, mengajar tidak hanya bermanfaat dalam mengembangkan dirinya, namun juga dapat memberikan manfaat dan pembelajaran bagi para mahasiswa yang diajarnya.

Mantan Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) ini menyebut, mengajar dapat menanamkan nilai-nilai yang kuat kepada para mahasiswanya.

Aktif Organisasi dan Karier

Kecintaan yang sama juga Enny tunjukkan pada ilmu hukum. Sedari menginjak bangku Sekolah Menengah Atas (SMA), Enny bertekad untuk menjadi seorang sarjana hukum.

Enny rela merantau dari Pangkal Pinang ke Yogyakarta guna menuntut ilmu di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (FH UGM). Ia pun merampungkan pendidikannya dan resmi menyandang gelar sebagai Sarjana Hukum pada 1981 silam.

Kemudian, ia lanjut S2 Hukum Tata Negara Program Pascasarjana di Universitas Padjadjaran Bandung (1995) dan S3 Ilmu Hukum Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (2005).

Langkahnya tak berhenti sampai disitu, wanita yang memiliki motto bekerja keras, bekerja cerdas dan bekerja ikhlas ini, mengejar mimpinya sebagai pengajar atau dosen di almamaternya.

Tak hanya menjadi seorang pengajar, Enny pun terlibat aktif dalam organisasi yang terkait dengan ilmu hukum yang digelutinya, yaitu ilmu hukum tata negara.

Salah satunya Parliament Watch yang ia bentuk bersama-sama dengan Ketua MK periode 2008-2013 Mahfud Md pada 1998 silam. Pembentukan Parliament Watch dilatarbelakangi oleh kebutuhan pengawasan terhadap parlemen sebagai regulator.

Perjalanan karier Enny di dunia hukum semakin panjang dengan keterlibatannya dalam proses penataan regulasi baik di tingkat daerah hingga nasional.

Keseriusan Enny mendalami penataan regulasi dikarenakan merasa hal tersebut sangat diperlukan oleh Indonesia. Dari situ, ia pun kerap diminta menjadi narasumber hingga menjadi staf ahli terkait.

Jadi Hakim Konstitusi

Enny mengaku tak pernah ingin menjadi hakim konstitusi. Enny mengaku mendaftarkan diri sebagai calon hakim konstitusi pada detik terakhir dengan dorongan dari kawan-kawan di kampus.

Terpilih sebagai hakim konstitusi, istri dari R. Sumendro ini menyadari bahwa sebagai seorang hakim konstitusi mengandung arti bekerja dalam sunyi di tengah keramaian. Ia menyadari tugas hakim konstitusi untuk memutus sebuah perkara berada dalam posisi tegak lurus.

Tegak lurus yang Enny maksudkan, yakni tidak boleh ada keberpihakan. Hal inilah yang menyebabkan ruang gerak seorang hakim konstitusi menjadi ‘sempit’ dalam kehidupan sosialnya.

Sebelumnya, Enny yang menjabat sebagai Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) berada di lingkup eksekutif yang menuntut adanya interaksi.

Sementara kini, sebagai hakim konstitusi, ia dituntut untuk menjadi sosok yang akrab dengan kesunyian. Ia berusaha untuk membatasi diri dalam berinteraksi. Hal itu dilakukannya demi menjaga integritasnya sebagai hakim konstitusi.

| | | | | | |